Awal April 1958, Clifford James Geertz dan istrinya, sebagai antropolog, tengah laksanakan penelitian lapangan di sebuah desa terpencil di Bali. Antropolog yang sohor bersama dengan karyanya Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali itu, tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran polisi. Ya, sejumlah polisi berkunjung di desa terpencil berikut untuk menggerebek perhelatan judi daftar sabung ayam.

Sudah tentu semua orang lari tunggang langgang, termasuk Geertz dan istrinya. Dari moment itulah Geertz bukan hanya jadi gampang “masuk” lingkungan komunitas masyarat Bali, lebih berasal dari itu, ia, sebagai peneliti lapangan berbasis etnografi, termasuk mendapatkan pembacaan tentang arti di balik ritus sabung ayam masyarakat Bali.
Kenangan tentang pengalaman memandang daftar sabung ayam di Bali itu, diabadikan oleh Geertz di dalam salah satu eseinya yang terkenal, Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight. Esai yang jadi salah satu artikel perlu di dalam bukunya, The Interpretation of Culture: Selected Essaysi, menyimpulkan bahwa hanya kelihatannya saja jago-jago (ayam-ayam) yang bertarung di sana. Sebenarnya, yang bertarung di sana adalah manusia-manusia.”
Melalui artikel ini, Geertz pakai paradigma interpretasi simbolik, mendiskripsikan arti di balik sabung ayam di Bali. Geertz mendapatkan arti perlu sabung ayam di dalam masyarakat Bali. Di balik sabung ayam itu, tersedia suatu bangunan kultur yang besar, tentang status, tentang kepahlawanan, kejantanan, dan etika sosial yang jadi dasar pembentukan budaya Bali. Sabung ayam, menurut Geertz, lebih berasal dari sekadar judi, termasuk merupakan simbol ekspresi berasal dari status, otoritas, dan lain sebagainya.
Merujuk KBBI, kata ‘jago’ secara leksikon berarti “ayam jantan”. Namun makna ini pun berarti “calon utama di dalam sebuah pemilihan”, “juara” atau “kampiun”. Pun di dalam bhs Jawa. Jago bagi orang Jawa berarti ayam. Namun kata ini termasuk berarti konotatif, sebagaimana arti di dalam kamus bhs Indonesia.
Permainan ini lazimnya dijalankan bersama dengan mengadu dua ayam jantan bertaji. Atau tak jarang ayam jantan itu sengaja dipasangi taji buatan, entah berasal dari bambu atau kayu diruncingkan, atau apalagi logam besi. Pertandingan barulah diakui selesai setelah salah satu ayam jantan itu kalah. Thomas Stamford Raffles di dalam The History of Java yang terbit pertama kali terhadap 1817, mencatat sabung ayam merupakan perlombaan yang terlalu umum dijalankan di kalangan masyarakat Jawa.